Ayo Gabung ini Bener-bener Gratissssssss......

Minggu, 20 Juni 2010

TERDAMPAR DI PULAU SILUMAN TIKUS

TERDAMPAR DI PULAU
SILUMAN TIKUS

Oleh: Suripno Romero

Kisah tentang keberadaan Pulau Hantu dari dulu masih menyisakan misteri. Meski sulit dipercaya, kenyataannya orang-orang tertentu pernah singgah, terdampar, bahkan menikah dengan salah seorang penghuni pulau. Kisah berikut ini dialami enam orang nelayan yang berasal dari perkampungan nelayan di pesisir pantai utara Cirebon, Jawa Barat.
Cerita ini terjadi puluhan tahun silam. Senja itu, sebut saja namanya, Darmawi, pamit pada isteri dan anaknya yang masih kecil. Seperti biasa, bermaksud mengais rizki sebagai nelayan. Namun, di saat Darmawi hendak pergi sang anak menangis merengek-rengek melarang ayahnya pergi. Darmawi mencoba membujuk anaknya bahwa kepergiannya itu untuk mencari uang.
“Nak, Ayah janji. Ayah pasti akan pulang secepatnya...,” begitulah bujuk Darmawi pada anaknya yang masih balita. Namun, sang anak tetap saja menangis. Ia masih tak rela bila ayahnya pergi melaut.
Tanpa mempedulikan rengekkan anaknya, Darmawi segera menemui kelima temannya yang sudah menunggu. Segala sesuatu mulai dari perbekalan, lampu petromak dan perlengkapan penangkapan ikan telah dipersiapkan.

Akhirnya keenam orang itu pun bergerak menaiki perahu dan mulai berlayar menyisiri pantai untuk mengarungi lautan.
Malam kian beranjak. Meraka kini berlayar semakin jauh. Deburan ombak dan tiupan angin laut membuat suasana semakin mencekam. Hanya lampu petromak yang menerangi perahu di malam yang pekat itu. Namun aneh, saat itu belum ada satupun ikan-ikan yang dapat mereka peroleh dari hasil tangkapan.
Hingga keesokan paginya, mereka masih terkatung-katung tanpa hasil ikan yang memuaskan. Begitupun pada hari-hari berikutnya. Seolah ikan-ikan laut itu enggan masuk ke dalam pukat yang telah mereka pasang ke laut. Mungkin beberapa ikan saja yang masuk ke dalam alat penangkapan itu.
“Aneh sekali. Apa yang terjadi pada kita? Sepertinya ikan-ikan itu enggan masuk ke dalam pukat yang telah kita siapkan. Hanya beberapa ikan saja. Itupun jumlahnya sangat sedikit. Sangat jauh dari biasanya,” gerutu Darmawi yang juga mewakili rasa kesal dan keheranan teman-temannya.
Hari terus berganti. Satu lagi yang membuat mereka sangat cemas. Kondisi perahu masih di tengah laut, sedangkan perbekalan makan mereka nyaris habis. Pada suatu malam, mereka tak mengira bahwa saat itu gelombang laut tidak stabil. Gelombang pasang mulai menampakan tanda-tandanya. Hingga suatu ketika perahu mereka semakin berada di tengah laut yang gemuruh dan menggila.
“Wahai teman-teman, angin telah memaksa kita ke tengah laut yang semakin jauh...”, kata salah seorang dengan penuh cemas.
Benar saja. Selang tidak lama kemudian, angin haluan bertiup, dan hujan lebat pun turun.
“Kita berdoa saja. Semoga kita selamat dari bahaya”, ujar Darmawi yang juga merasakan kecemasan itu.
Hujan kian lebat. Angin amat kencang. Gelombang pasang bagai tangan-tangan malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Namun sejauh itu, beruntung badan perahu tidak terbalik atau tenggelam. Selama semalaman itu perahu dan para penumpang bergulat dengan keadaan yang mengkhawatirkan.
Keesokan paginya, perahu yang ditumpangi Darmawi dan kelima temannya terkatung-katung, terseret jauh di lautan lepas. Tidak jelas ke mana arah mereka berlayar. Mereka terombang-ambing di tengah lautan sepanjang hari.
Hari-hari berikutnya, meraka masih berada di tengah lautan. Tanpa arah yang jelas. Setiap hari yang terlihat hanya lautan. Perbekalan yang mereka bawa kini sudah tiada. Mereka berada dalam kondisi yang memprihatikan, disertai perasaan takut, tertekan, lapar dan haus.
Pada hari keenam, badai kembali datang. Terpaan badai itu membawa Darmawi dan kelima temannya pada suatu daratan pulau. Perahu mereka terdampar di tepi pulau yang baru mereka temukan. Keenam orang itu segera turun. Dan setelah menambatkan perahu, mereka istirahat di bawah sejuk pohon-pohon kelapa di sekitar pantai. Selanjutnya, dengan sisa tenaga meraka mulai bergerak memasuki pulau yang masih asing itu. Mereka berjalan dengan perut lapar dan kondisi fisik yang memprihatinkan.
Setelah agak jauh berjalan menyusuru daratan pulau, Darmawi dan kelima temannya mendapati banyak rumah. Pemandangan itu tak ubahnya sebuah perkampungan penduduk. Rumah-rumah itu juga sama persis dengan rumah-rumah penduduk di kampung mereka. Mungkin perbedaanya, atap-atap ijuk yang merupakan atap dari rumah-rumah penduduk di kampung itu.
Darmawi dan teman-temannya berharap dapat bertemu dengan para penduduk, sehingga mereka dapat tertolong dari kelaparan karena semua perbekalan sudah habis. Tapi semuanya kebingungan dengan keadaan kampung yang tampak aneh. Bayangkan, tak ada seorang pun penduduk di kampung itu. Yang mereka jumpai hanya rumah-rumah sepi, seolah tak berpenghuni.
Saat mengelilingi kampung itu, masih ada secercah harapan di hati mereka akan menemukan adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Harapan ini memang tidak sia-sia. Setelah berjam-jam mereka mencari-cari, barulah mereka melihat seorang demi seorang penduduk kampung.
“Permisi Pak, bisa kami bertemu dengan Kepala Kampung pulau ini. Kami adalah para nelayan yang kebetulan terdampar karena perahu yang kami tumpangi terhempas badai,” tanya seorang teman Darmawi, yang bernama Awor kepada salah seorang penduduk kampung yang wujud fisiknya sama seperti manusia biasa itu.
“Oh, jadi Anda orang asing di sini? Baiklah kami akan mengantar Anda menemui Kepala Kampung kami,” jawab seorang laki-laki yang berusia setangah baya itu.”Mari ikut saya!” ajaknya.
Keenam nelayan itu mengikuti arah orang yang akan mengantarnya menemui Kepala Kampung. Tidak lama kemudian, sampailah mereka pada sebuah rumah yang agak besar. Berbeda dari rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Namun pada atap rumahnya sama menggunakan atap ijuk. Di sisi kanan kiri rumah terdapat bangunan-bangunan kecil yang mirip sebuah lumbung padi. Tak salah lagi inilah rumah Kepala Kampung yang dimaksud.
Setelah mengucapkan uluk salam oleh seorang penduduk itu kepada yang empunya rumah, tiba-tiba munculah dari dalam seorang lelaki besar tinggi dan berwibawa. Dialah Kepala Kampung yang menjadi pemimpin di pulau ini.
“Oh ada tamu rupanya. Silahkan masuk,” ajak Kapala Kampang itu.
Meski dari luar terkesan sangar, ternyata Kepala Kampung itu baik dan ramah. Ia mempersilakan tamu-tamunya masuk dengan senang hati. Setelah duduk di dalam Darmawi mewakili kelima temannya menceritakan perihal kejadian yang menimpa mereka. Mendengar cerita itu Kepala Kampung hanya manggut-manggut.
“Untuk sementara waktu kalian menginap saja di sini. Kami selalu terbuka bagi siapa saja yang datang,” tawar kepala kampung itu. Ia memperkenalkan dirinya bernama Pak Wiro.
“Dan kalian tentu lapar? Sebentar!” ujarnya. Ia kemudian masuk kedalam kamarnya. Tak berapa lama berselang, salah seorang pembantu rumah keluar dari kamar menuju para tamu sambil membawa sebakul nasi beserta lauknya berupa ayam panggang, lengkap dengan sayur, lalapan dan buah-buahan yang masih segar. Makanan-makanan itu ditaruhnya di atas meja di depan para tamu. Lalu Kepala Kampung yang baru keluar kembali dari kamarnya mempersilakan Darmawi dan kelima temannya untuk makan. Karena memang merasa sangat lapar, keenam orang itu pun segera menyantapnya dengan lahap makanan yang tersaji di atas meja.
Usai makan, Darmawi dan kelima temannya berbincang-bincang dengan Kepala Kampung.
“Maaf Pak, kalau boleh saya tahu, nama pulau atau kampung ini apa ya?” tanya seorang teman Darmawi.
“Itu tidak penting. Nanti juga kalian tahu sendiri,” jawab Kepala Kampung, yang seolah ada yang ditutup-tutupi. Mereka pun kembali ngobrol
Tanpa terasa hari beranjak sore. Keenam nelayan itu dipersilahkan mandi dan tinggal di rumah Pak Wiro.
Malamnya, keenam nelayan itu pun menginap dan menempati sebuah kamar yang telah disediakan. Karena lelah, baru menjelang maghrib Darmawi dan teman-temannya tertidur pulas. Mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan Kepala Kampung tiap malam bersama penduduk lain pulau itu.
Baru dua hari Darmawi dan kelima temannya berada di pulau itu. Namun mereka telah bisa berbaur dengan para penduduk pulau. Bahkan Darmawi sempat berkenalan dengan seorang perempuan cantik bernama Lastri. Ia seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya. Perkenalan Darmawi dengan Lastri telah menimbulkan benih-benih cinta. Hingga tak ayal, Darmawi pun bermaksud menikahinya. Hal ini ia utarakan kepada Pak Wiro selaku Kepala Kampung. Dan kepala kampung itu merestuinya dengan syarat, Darmawi harus tetap tinggal di pulau bersama isterinya. Itu berarti Darmawi harus meninggalkan isteri dan anaknya di kampung.
Darmawi rupanya telah dibutakan oleh cintanya. Ia lebih memilih menikahi janda muda itu ketimbang keluarganya. Teman-temannya saat mengetahui Darmawi hendak menikah lagi menentang niat itu. Mereka berusaha membujuk dan menasihati Darmawi. Tapi Darmawi bersikeras dengan keputusannya.
Lima hari sudah, keenam nelayan itu berada di perkampungan pulau. Rasa rinda pada keluarga dan kampung halaman mulai menghinggapi mereka. Kecuali Darmawi yang tetap bersikukuh untuk tinggal di pulau. Beberapa kali teman-temanya mengingatkan, tapi semuanya sia-sia.
Pagi itu, kelima teman Darmawi bermaksud pamit pada Pak Wiro.
“Memang kalian yakin mau pulang hari ini?” tanya Pak Wiro. “Apa tidak sebaiknya diundur barang beberapa hari lagi tinggal bersama kami?”
“Terima kasih Pak. Tapi kami sudah kangen pada keluarga. Kami tak ingin mereka cemas,” kata seorang diantara mereka.
“Baiklah, kalau memang kalian ingin pulang sekarang. Kami tidak bisa memaksa. Tapi biarkan Nak Darmawi tinggal bersama kami,” kata Pak Wiro.
“Ya, Pak. Kalau memang teman saya mau tinggal di sini, kami hanya bisa merelakan,” ujar Awor dengan kecewa.
“Dan untuk kalian, sebelum pulang kami akan memberi sedikit ole-ole...” ungkapnya.
Tak berapa lama, seorang pembantu Pak Wiro membawakan sesuatu berupa bundelan ikat batang padi dalam jumlah banyak. Bundelan padi yang baru diambilnya dari lumbung itu diserahkan pada kelima teman Darmawi untuk dibawa pulang.
“Terimalah hadiah dari kami. Anggap saja ini sebagai pengganti ikan-ikan yang tidak kalian dapatkan. Dan salam untuk keluarga kalian di rumah!” ujar Pak Wiro.
“Terima kasih banyak, Pak. Bapak mau menerima kami singgah dan memberi hadiah sebanyak ini. Saya titip teman kami Darmawi!” ungkap Awor mewakili teman-temannya. Mereka saling mengucap salam. Hingga akhirnya kelima teman-teman Darmawi menuju perahu yang hendak mereka tumpangi berlayar menuju pulang.
Kelima teman Darmawi sudah kembali berlayar ke laut lepas. Untuk sementara waktu Darmawi masih tinggal di rumah kepala kampung. Hingga beberapa hari kemudian Pak Wiro menepati janjinya untuk menikahkan Darmawi dengan Lastri. Pernikahan itu disaksikan oleh semua penduduk pulau. Dan dalam waktu singkat, Darmawi telah akrab dan membaur dengan masyarakat setempat. Selanjutnya, Darmawi ikut tinggal di rumah isterinya yang memang hidup sendirian itu.
Darmawi kini hidup bahagia dengan isteri barunya. Dan ada hal yang membuat ia bangga sekaligus heran. Sejak menikah, Lastri, isterinya tidak pernah menuntut Darmawi macam-macam. Hampir tiap malam isterinya pergi keluar rumah dan baru pulang pada tengah malam atau terkadang sampai dini hari. Begitu pulang, sang isteri membawa bakul yang penuh berisi tangkai-tangkai padi yang telah berisi dan menguning. Saat ditanya, isterinya menjawab bahwa hal itu sudah menjadi kebiasaan penduduk pulau jika aktivitas mereka yaitu menuai padi dilakukan pada malam hari. Mendengar penjelasan isterinya, Darmawi percaya begitu saja. Lagi pula ia sadar bahwa yang menjadi tulang punggung untuk makan sehari-hari selama mereka menikah adalah sang isteri. Ia khawatir jika banyak bertanya dan selalu curiga malah membuat isterinya tersinggung.
Adapun hasil tangkai-tangkai padi yang telah diperoleh isterinya, tidak semuanya ditumbuk untuk menjadi beras, melainkan sebagian besar diserahkan kepada Pak Wiro dan disimpan pada lumbung penduduk yang ada di rumah Kepala Kampung itu.
Akibat aktivitas yang terkesan unik itu, membuat kebanyakan penduduk pulau akan banyak tidur jika siang hari. Bahkan tak terlihat satupun dari mereka yang bekerja di sawah, di kebun atau menangkap ikan jika siang hari. Sungguh kehidupan yang sangat aneh. Begitulah pikir Darmawi melihat kenyataan itu. Namun, lagi-lagi ia tak berani banyak bertanya tentang keganjilan itu, baik pada penduduk yang dikenalnya maupun pada Pak Wiro. Keanehan itu ia telan selama hampir setahun sejak menikahi isterinya.
Singkat cerita. Sudah hampir satu tahun Darmawi hidup bersama isterinya di pulau itu. Dan sejauh ini pula, pernikahan Darmawi dengan Lastri belum membuahkan seorang anak pun sebagai penyambung hidupnya. Hingga tibalah pada suatu malam, isterinya jatuh sakit. Akibatnya, sang isteri tak dapat menunaikan kewajibannya pada kepala kampung untuk ikut bekerja malam hari.
“Sudahlah isteriku, kalau kau sakit, biar aku saja yang bekerja bersama penduduk lainnya, “ kata Darmawi melihat kondisi isterinya yang terbaring di atas ranjang.
“Tapi, kang. Apa kau bisa?” tanya isterinya ragu.
“Kalau cuma menuai padi sih, tentu aku bisa.” Jawab Darmawi. “Memang apa ada yang beda hingga kau meragukanku?”
“Baiklah kalau Kang Darmawi serius. Sekarang Kang Darmawi bergabung saja dengan para penduduk di rumah Pak Wiro. Katakan padanya kalau sementara Akang menggantikan aku. Pasti mereka menerimamu...”
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, Darmawi bergerak menuju rumah Pak Wiro. Sesampai di lokasi, semua penduduk yang berjumlah ratusan telah berkumpul di depan rumah kepala kampung. Setelah bertemu Pak Wiro, Darmawi menjelaskan kondisi isterinya yang tidak memungkinkan ikut bersama rombongan seperti biasa. Setelah berunding sejenak, akhirnya Pak Wiro mengijinkan Darmawi ikut mereka dengan syarat, tidak banyak bertanya selama perjalanan dan mengikuti segenap perintah Pak Wiro.
Setelah itu, Pak Wiro mengomandoi rombongan segera berangkat. Darmawi disuruh berpegangan tangan pada salah seorang penduduk. Kemudian, dengan kecepatan luar biasa melesatlah para penduduk ke udara laksana kilat. Tanpa sadar, Darmawi ikut tebang melesat bersama penduduk lainnya.
Akhirnya, tibalah rombongan pada sebuah areal sawah yang luas. Mereka serentak berhenti. Ratusan penduduk di bagi atas beberapa kelompok yang diintruksikan oleh Pak Wiro. Mereka menempati lahan-lahan sawah yang telah ditentukan. Darmawi yang masih terpana dengan pemandangan itu ikut pada salah satu rombongan untuk menuai batang-batang padi yang memang telah menguning itu.
Dalam hitungan detik, seluruh penduduk mulai menuai batang-batang padi tanpa menggunakan ani-ani yang biasa digunakan pada waktu itu. Bahkan, Darmawi dibuat terpana dengan kenyataan yang dilihatnya. Orang-orang itu melakukannya dengan kecepatan yang sulit dicerna akal sehat. Bagaimana tidak, dalam waktu relatif singkat mereka telah mengumpulkan banyak batang padi ke dalam bakul-bakul yang mereka bawa. Darmawi tak begitu jelas bagaimana cara kerja orang-orang itu memotong batang-batang padi dengan sangat cepat. Menyaksikan itu semua, tentu saja Darmawi tak sempat mengikuti pekerjaan yang menurut kemampuan manusia biasa sangat muskil itu. Ia hanya terpaku di sekitar pematang sawah. Dalam benak Darmawi timbul pertanyaan, apakah sebenarnya mereka bukan manusia? Selanjutnya, tiba-tiba Darmawi terserang rasa kantuk yang teramat sangat. Lantas ia tertidur pada sebuah pematang sawah. Hingga kemudian lewat tengah malam, tanpa ia ketahui ternyata rombongan telah mendapat intruksi dari kepala kampung untuk segera meninggalkan tempat itu. Darmawi yang telah pulas dalam tidurnya tak sempat dibangunkan oleh rombongan. Ia tertidur sendirian di pematang sawah dengan posisi tengkurap.
Keesokan harinya, sinar matahari telah membangunkan Darmawi dari tidurnya yang lelap. Perlahan ia mulai membuka mata. Namun sontak ia terkejut begitu melihat keadaan sekelilingnya. Ia tak menjumpai seorangpun di sana
“Kemana mereka? Kenapa aku ditinggal sendirian?” gerutu Darmawi dalam kebingungannya. Lalu ia mulai bangkit dan menatap hamparan sawah yang sudah dipanen. Ia berjalan mondar-mandir di pematang sawah dengan berbagai pertanyaan yang menggelayut. Namun sejauh itu tak dijumpai seorangpun di sana. Hingga sejam kemudian, tampaklah beberapa orang yang datang ke sawah. Darmawi menghampiri orang-orang itu. Namun aneh, mereka sama sekali tak mellihat kedatangan Darmawi. Beberapa kali Darmawi bertanya, tetapi orang-orang itu hanya diam.
“Aneh! Kenapa mereka diam saja? Apa mereka tak melihatku?” batinnya.
Dalam kebingungan setelah beberapa orang yang ditanya seolah tak melihatnya, Darmawi putus asa. Ia beranjak pergi dan mendekati sebuah gubuk milik warga yang berada di tengah persawahan. Ia duduk merenung, meratapi nasib yang dialaminya. Ia bingung, kemana lagi harus pergi. Sejam kemudian, Darmawi kembali bangkit dan mendekati sebuah mata air yang mengalir pada tanggul di sekitar sawah. Ia mencuci muka dengan air itu. Selanjutnya, ia kembali berjalan menyusuri tanggul. Ia terus berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Hingga tibalah pada suatu tempat, dimana di situ banyak orang berkumpul. Dan ketika Darmawi melintas di depan orang-orang itu, mereka memandang Darmawi penuh curiga. Hal ini membuat Darmawi heran. Kini ia mulai yakin bahwa orang-orang itu bisa melihat dirinya usai ia mencuci muka. Langsung saja Darmawi mendekati orang-orang yang tengah berkumpul dan mulai bertanya. Namun keanehan kembali terjadi. Begitu Darmawi hendak mengeluarkan kata-kata, tiba-tiba suaranya hilang. Berkali-kali ia mencoba berbicara, lagi-lagi tak satupun ucapan yang keluar dari mulutnya. Darmawi sendiri heran apa yang terjadi pada dirinya? Hal itu tentu saja membuat orang-orang yang melihatnya penasaran. Mereka menyangka Darmawi seorang gagu yang hendak menanyakan sesuatu
“Mau pulang kemana, mas?” tanya salah seorang diantara mereka.
Darmawi bingung harus jawab apa. Padahal, ingin sekali ia menyampaikan mengenai dirinya yang tersesat dari rombongan yang bersamanya semalam. Beruntung diantara mereka ada yang merasa iba. Seorang penduduk berusia separuh baya mengajak Darmawi untuk singgah ke rumahnya.
“Begini saja, bagaimana kalau saudara ikut saya ke rumah? Saya hanya kasihan melihat saudara. Dan sepertinya saudara bukan orang sini, tapi datang dari jauh?”
Mendengar itu Darmawi hanya menganggukan kepala. Ia merasa senang masih ada orang baik yang ingin mengajak ke rumahnya.
Singkat cerita. Darmawi telah berada di pemukiman penduduk, yaitu di desa Karangampel, Indramayu. Ia tinggal di rumah seorang warga yang membawanya. Sejauh itu, ia masih belum bisa berbicara, apalagi menceritakan peristiwa yang menimpanya. Berita tentang keberadaan orang asing yang gagu di desa itu telah tersebar. Hingga akhirnya, seorang kyai mendatangi rumah warga yang menampung Darmawi tinggal. Sang kyai yang memiliki ilmu kebatinan tinggi itu melihat ada sesuatu yang membuat Darmawi tak bisa bicara alias gagu. Ia meyakini Darmawi terkena pengaruh siluman atau makhluk halus. Sang kyai itu pun meminta segelas air putih pada si pemilik rumah. Selanjutnya, ia mulai melafazkan doa-doa pada gelas berisi air itu, dan kemudian meminumkannya.
“Insya Allah, dalam seminggu ia akan sembuh dan bisa berbicara kembali,” ujar kyai tanpa penjelasan selanjutnya. Ia kemudian beranjak pamit.
Seminggu kemudian, lambat laun Darmawi kembali pulih. Ia dapat berbicara dan menceritakan siapa dirinya. Ternyata diketahui bahwa Darmawi seorang warga Cirebon yang terdampar bersama kelima temannya di sebuah pulau. Ia sendiri menetap dan menikah selama hampir satu tahun bersama seorang janda muda di pulau itu. Sedang kelima temannya memilih pulang untuk kembali kumpul bersama keluarganya. Darmawi juga menceritakan kejanggalan yang terjadi selama hidup dengan isteri barunya itu. Dan juga keanehan saat ikut bersama rombongan memanen padi-padi yang ternyata lahan persawahan itu milik penduduk setempat. Hingga ia tertidur dan esoknya bertemu warga.
Semua peristiwa itu Darmawi ceritakan panjang lebar. Tak urung, membuat warga yang mendengar cerita itu merasa tercengang. Satu hal yang menjadi misteri adalah tentang keberadaan pulau asing itu, dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Banyak warga yang meyakini bahwa Darmawi hidup dan menetap di perkampungan pulau siluman. Tepatnya siluman tikus. Dan pulau itu sebenarnya tidak pernah ada dalam dunia nyata. Mungkin hanya orang-orang tertentu yang dikehendaki saja yang sempat menyaksikan, bahkan singgah dan tinggal di pulau. Beberapa warga sendiri yang sawahnya berada di sekitar pantura mengalami keanehan saat itu. Konon, sawah-sawah mereka merasa ada yang memanen tanpa tahu siapa yang melakukannya. Sempat beredar dari cerita- cerita orang tua saat itu tentang adanya koloni siluman tikus. Hal ini diperkuat dengan kehadiran Darmawi dan cerita muskil dari laki-laki asal perkampungan di Cirebon itu.
Konon, akhirnya Darmawi pun dipertemukan kembali dengan keluarganya di Cirebon atas bantuan warga Karangampel. Haru biru menyelimuti mereka. Darmawi juga sempat bertemu kembali dengan teman-temannya sesama nelayan yang pernah melaut bersama. Darmawi akhirnya kembali hidup bersama anak dan isteri tercintanya.
Kejadian yang terjadi puluhan tahun silam di atas berdasarkan cerita yang berkembang dari warga Karangampel Kabupaten Indramayu. Nama para pelaku hanyalah fiktif. Namun demikian, masyarakat meyakini bahwa cerita itu benar-benar pernah terjadi. Meski mungkin sedikit terjadi perbedaan versi, tapi penulis mengadaptasinya dari cerita yang dituturkan Pak Muridin dan Abah Tarim.

Diceritakan kembali oleh sesepuh Warga Indramayu

1 komentar:

  1. Buat yang berada di perantauan Yang Butuh Modal Usaha Atau Punya Utang Banyak,Minat Lewat Pesugihan Tanpa Tumbal Di jamin Aman Dunia Akhirat (Halal) ,telpon saja Ki Soleh Pati.
    (((PESUGIHAN PUTIH UANG NYATA DARI ALAM GAIB DAN NIKAH SIRIH WANITA CANTIK JIN MUSLIM)))
    Pengajar: Ki Soleh Pati.
    Hp. 085 289 336 667.
    Pesantren al-hikmah
    Besuki-situbondo-jawa timur.
    Jika anda mau ritual dirumah tanpa datang kepesantren.
    Syarat -syarat.
    -beli kain putih dan semprot dengan parfum.maka jin wanita akan siap membawa uang milyaran atau ratusan juta.
    —PESUGIHAN PUTIH DANA BAROKAH.AMAN DUNIA AKHIRAT TANPA TUMBAL.
    Cukup anda menyembelih hewan kambing sbg sesajen putih.anda akan dibawakan uang melimpah sama jin muslim.
    -NIKAH SIRIH SAMA WANITA MENAWAN SAMA JIN MUSLIM.
    Dengan menikahi jin muslim anda akan dibantu mencari perantara uang cepat kilat dan jin ini bisa berubah wujud desuai yang diinginkan sang suami/bisa seperti artis idola.
    (( Jika kambing dapat uang seratus juta dan jika sapi akan dapat 1-5 milyar lebih))
    Buktikan dan kami yakin anda akan bisa dan akan dapat uang melimpah dalam satu malam .
    Ini nyata dan terbukti.silahkan anda ritual malam ini dengan bimbingan jarak jauh via telpon di :
    085 289 336 667.
    Pengajar:Ki Soleh Pati.
    Hp. 085 289 336 667
    Desa silobanteng-besuki-situbondo-jawa timur.

    BalasHapus

Tinggal Klik aja Boss