Ayo Gabung ini Bener-bener Gratissssssss......

Minggu, 20 Juni 2010

SELEBMANIA


SELEBMANIA
Oleh: Suripno Romero
“Malas, ah! Pacarku sudah nggak nyanyi lagi!” Dengus Cinta tanpa menoleh pada layar televisi yang mulai menayangkan program Talk Show
“Lho!Siapa pacar kamu?” tanya Arni seraya menatap tajam sang adik.
“Pasya! baru saja nyanyi lagu terbarunya.”
“Ha...ha...!” Sang kakak langsung ngakak. “Kamu ngomong apa?! Sejak kapan kamu pacaran sama artis se-ngetop dia?!”
“Cerewet, ah! Mau tau aja!” Cinta bangkit dengan muka masam. Ia melangkah menuju kamar.
Dan ketika tahu band Ungu akan mengadakan show di kotanya, Cinta kegirangan. Akan terwujud impiannya ketemu langsung dengan sang idola. Ia bisa menatap dari dekat sosok Pasya yang selama ini ia puja-puja.
Saat itu, ia berdiri di deretan paling depan. Tentu saja agar dia bisa puas menikmati gerak-gerik Pasya dan pesonil Ungu lainnya. Maka ketika pertunjukan dimulai dan musik pun terdengar, Cinta jadi histeris. Seluruh ruang sport hall itu digoncang gegap gempita penonton.
Suasana kian riuh ketika seorang penonton cewek naik ke panggung dan menyodorkan seikat kembang pada Pasya. Ah, andai aku berani, cemburu Cinta dalam hati. Makanya tak henti Cinta menatap sang pujaan. Arni yang di samping Cinta sempat menoleh sang adik yang selalu histeris
Sejak itu, Cinta kian larut dalam khayalam. Sungguh aneh. Betapa tidak, Pasya adalah penyanyi top saat ini. Sudah beristri dan anak. Fands seabrek-abrek. Sedangkan dia, hanya cewek introvert, tak pinar bergaul dan tak punya prestasi yang bisa diandalkan!
Memang aneh. Tapi bagaimana lagi? Sosok Pasya seolah menjelma malaikat penyelamat bagi Cinta dari kubangan masa lalu. Pasya bagai reinkarnasi Edo, pacarnya dulu. Nyaris semuanya serupa. Meski Edo bukan seorang bintang, tapi beberapa hal lain punya banyak kesamaan dengan Pasya. Gaya rambutnya, hidungnya, posturnya, serta sama-sama pemusik. Ah, sungguh aneh. Mengapa Tuhan harus menciptakan serupa seperti itu?
Kala bayangan Edo hadir, luka itu pun mengucur kembali. Kebahagiaan yang Cinta rajut bersama Edo saat itu, harus berakhir dengan sebuah kematian yang mengerikan. Cowok itu tewas seketika tertabrak sebuah taksi. Justru di depan mata kepala Cinta sendiri, ketika Edo menyeberang untuk menemuinya! Ah, sebuah kenangan yang sungguh pahit untuk dikenang.
Peristiwa itu selalu membayangi Cinta, walaupun sudah terjadi dua tahun silam saat ia masih di SMA. Tapi ketika ia tahu Pasya, seolah sosok Edo hidup kembali. Cinta seolah menemukan kembali masa lalunya. Karena itu pula, ia merasa damai dekat dengan Pasya. Setiap ia mendengar lagu-lagu Ungu, seakan hal itu pengganti Edo yang suka menyanyi dan sering menghibur dirinya dulu.
Sebenarnya Cinta tahu, ia harus mencari jalan keluar dari persoalan ini. Ia tak mungkin terus larut. Menciptakan ilusi yang kian menjeratnya. Ia harus berbuat sesuatu, karena itu, ia pun mencoba mencari pacar baru. Ya, agar melupakan Edo dan menghancurkan impian tak masuk akal dengan Pasya!
Hingga suatu malam Minggu, datang Feri, cowok yang akhir-akhir ini sering menempel Cinta di Kampus. Cinta pun menyambutnya dengan baik. Dan ketika Feri mengungkapkan perasaannya, cewek itu tak menampik. Hubungan kasih pun terjalin. Mbak Arni jadi senang melihat adiknya mulai membuka diri.
Tapi, baru hubungan kasih itu berjalan dua bulan, Cinta menunjukkan ulahnya.
“Cinta, Feri, cowokmu datang tuh!” seru Arni di balik pintu kamar Cinta.
“Bilang aku nggak ada, Mbak!” sahut Cinta ketus.
“Lho! Kamu ini gimana, sih?! Aku sudah bilang, kamu ada. Ayo, temuin sana! Malam minggu kok malah di kamar!”
“Sedang malas, Mbak! Mbak saja yang nemuin.”
“Ya ampun, Cinta! Dia ingin ketemu kamu, bukan aku! Ayo, keluar dong, temuin sana!” Arni mulai kesal.
Cinta terdiam sejenak. “Iyaaa ya. Aku sisiran dulu,” akhirnya gadis itu mau juga.
Ia bangkit dari dipan yang penuh berserakan majalah dan tabloid yang memberitakan tentang Pasya dan Ungu. Beberapa CD dari kelompok band top itu, di depan DVD Player yang masih mengalunkan lagu-lagu dari album terbaru mereka. Setelah sedikit rapi, Cinta pun keluar dari kamar. Sengaja ia tampil seadanya. Celana pendek model Hawai dan kaos singlet.
“Hai!” sambut Cinta hambar begitu tiba di ruang tamu.
“Hai,” balas Feri sama hambar. “Kamu nggak biasanya berpakaian begini. Lagi pula kita kan sudah janji mau nonton.”
“Masa sih ada janji?” Cinta berlagak tidak tahu. Feri kian jengkel.
“Kamu gimana, sih? Tadi siang di kampus, kamu sendiri kan yang ngajak!” cowok itu hampir berteriak menahan emosi.
“Ooh, itu.” Desis Cinta tenang. “Nggak jadi, deh. Aku nggak enak badan. Pusing sekali. Kamu berangkat saja sendiri.”
Feri menatap tajam Cinta. “Baik kalau gitu,” ujar Feri akhirnya, “aku pulang!” Lalu ia bangkit dari sofa dan membalikan badan tanpa sedikitpun menoleh pada Cinta.
Cinta duduk terpaku. Ada sebersit rasa bersalah memercik di sudut hati. Mengapa aku harus berdusta? Gumamnya lirih. Hanya karena malam ini, ada acara musik di tivi yang menampilkan band pujaannya, Ungu.
“Kok, Feri nggak pernah ke sini lagi?!” tanya Arni suatu hari pada Cinta. Ya, setelah kejadian di malam minggu itu, hubungan mereka jadi retak.
“Entah. Biarin aja,” sahut gadis itu sekenanya. Sejak awal, ia hanya ingin cowok itu sebagai pelarian dari dunia ilusinya dengan Pasya dan pacarnya dulu.
“Kamu sudah bubaran sama dia?”
“Ah, Mbak. Maunya ingin tahu aja! Sudah dibilang nggak ada apa-apa, masih ngomong juga.” Cinta langsung pergi dari ruang tamu. Masuk kembali ke kamarnya sembari menentang Aneka Yess.
“Hei, Cinta! Ditanya baik-baik, kok malah pergi!” Hardik Arni marah.
***
“Cinta, bangun! Sudah siang! Kuliah nggak?!” Seru Arni seraya mengetuk pintu sang adik.
Tidak ada sahutan sama sekali
“Hei, Cinta bangun! Bangun!” Arni mengetuk kamar lebih keras.
Masih saja tidak ada tanda-tanda Cinta bangun. Akhirnya Arni melangkah ke dapur.
“Bi, saya ke kampus dulu sebentar. Lihat pengumuman,” ujar Arni pada Bi Inah yang sedang menggoreng sesuatu. “Nanti bangunin Cinta ya! Tidak seperti biasanya dia begini.”
Setelah menjawab, Bi Inah meneruskan pekerjaannya. Rumah besar itupun kembali lengang. Sejak pergi tadi pagi pukul 07, Bu Rita sudah pergi ke kantor. Sementara Pak Joko belum pulang dari Batam karena suatu urusan bisnis. Cinta dan Mbak Arni jadi jarang ketemu dengan kedua orang tua mereka. Apalagi berbicara dari hati ke hati. Nyaris tak pernah, pikir Bi Inah.
“Aduh, Non! Non Cinta nggak bangun-bangun juga!” Sambut Bi Inah cemas kala Arni pulang dari kampus. “Tadi sudah bibi bangunkan berkali-kali. Tapi tetap saja Non Cinta nggak bangun-bangun.”
“Masak sih?!” pekik Arni tak percaya. “Nggak biasa Cinta tidur sampai siang begini. Hampir jam sepuluh lho!” tergopoh-gopoh gadis itu menuju kamar Cinta.
“Cinta, bangun! Bangun!” teriak Mbak Arni sambil menggedor-gedor pintu. “Hei, bangun!”
“Ah, ini pasti ada yang nggak beres, Bik,” desis Arni setelah berkali-kali tak ada sahutan. “Panggil Ujang, Bi. Kita dobrak saja pintu ini!”
Begitu tukang kebun itu datang dan mendobrak dengan linggis, semuanya menghambur ke dalam. Cinta masih terbaring di kasur. Tangannya mendekap poster Pasya yang sudah dibingkai. Beberapa CD dan DVD Ungu berserakan di seprai yang awut-awutan. Artikel tentang Pasya dan bandnya di sebuah tabloid, masih terlihat jelas.
“Ada apa kamu, Cin?!” Arni menggoncang-goncang tubuh gadis itu yang tetap saja diam.
Sang kakak kian panik. Wajahnya pucat kebingungan.
“Cinta...,” sapapnya pasrah sambil menitikkan air mata. Baru saja ia mau memeluk si adik, tiba-tiba....
“Pasya, Pasya...,” desis Cinta lemah sambil menatap nanar Arni. “Aku kangen kamu, sayang. Jangan tinggalkan, ya.”
Cinta lantas tersenyum misterius. Kemudian tertawa keras. Tanpa terduga, Cinta lalu menangis tersedu-sedu. Arni hanya diam terpana. Tak tahu harus berbuat apa pada adiknya, yang selebmania pada sang artis pujaannya secara berlebihan.
Dedicated to Cintami
(Indramayu, Juli 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggal Klik aja Boss