Ayo Gabung ini Bener-bener Gratissssssss......

Selasa, 22 Juni 2010

Koloni Biawak Misterius Serbu Rumah Dartim

Koloni Biawak Misterius Serbu Rumah Dartim
Ditulis Oleh Dhany   
ImageRumah di Pulau Rakit itu tidak begitu megah tetapi punya daya tarik sangat kuat. Keunikan rumah seluas 70 meter persegi itu, bukan karena model ataupun pernak-pernik ornamennya melainkan, keberadaan binatang carnivora yang berkeliaran di sekelilingnya.
Binatang reptil pemakan daging itu dengan santainya bercanda di pelataran depan rumah, di kebun samping maupun halaman belakang rumah. Pemilik rumah itu, Dartim, 60 tahun, lebih unik lagi sebab, selain tidak merasa takut, lelaki ubanan itupun seakan tidak pernah merasa terganggu atas keberadaan biawak-biawak berukuran besar itu. Tetapi, yang tidak kalah uniknya, pria tamatan SR (setara SD) itu betah menduda sejak ditinggal mati istrinya beberapa tahun silam.

Pulau Rakit secara administratif masuk wilayah hukum Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), Indonesia. Jika ditarik garis lurus, jarak dari pusat kota kabupaten menuju pulau tersebut hanya sejauh 14 kilometer dan cukup ditempuh 4 jam perjalanan menggunakan perahu mesin tempel dengan kecepatan sedang.
Di Kabupaten Indramayu, selain Pulau Rakit masih terdapat dua pulau lainnya, masing-masing Pulau Karang Rakit Utara dan Pulau Gosong Tengah. Di antara ketiganya, Pulau Rakitlah yang paling tersohor. Pasalnya, di atas punggung pulau seluas 50 hektare itu terdapat ratusan jenis flora dengan didominasi tumbuhan bakau, puluhan jenis fauna renik, amphibi, melata dan reptil yang merupakan kekayaan alam. Kini, fauna di pulau tersebut diperkaya dengan kehadiran puluhan ekor biawak yang datang secara misterius.
Jangankan orang luar pulau, Dartim sendiri tidak tahu persis dimana lokasi habitat binatang itu sebelum muncul di sekeliling rumahnya itu. Padahal, dia menempati Pulau Rakit sudah puluhan tahun.
Sebelumnya, Dartim hanyalah seorang nelayan yang tinggal di desa pantai. Akibat gelombang besar atau biasa disebut abrasi (erosi air laut), Dartim kehilangan rumah dan putra semata wayangnya.
Tidak diketahui alasannya, Dartim memutuskan membangun rumah di Pulau Rakit sekaligus memboyong istrinya. Suami-istri itupun hidup mengasingkan diri di atas pulau tak berpenghuni itu.
Di pulau itu, dia tidak punya tetangga apalagi ketua RT. Yang mencengangkan, meskipun istrinya, Darinah sudah meninggal dunia, pria pemburu ikan liar itu masih terus bertahan tinggal di sana.
Sewaktu Misteri mengunjunginya, rumah yang berada persis di bibir pantai itu tampak senyap sebab, saat itu pemiliknya masih bergelut di rawa-rawa untuk mengangkat puluhan perangkap ikan yang dipasang disana.
Menjelang pukul 9 pagi, Dartim muncul dari balik rimbunan rumpun bakau sambil menenteng bubu di bahu kirinya. Bubu terbuat dari anyaman bambu itu, nyaris penuh berisi ikan hasil jebakan semalam.
Sambutan yang dia berikan cukup dingin dengan ekspresi wajah datar-datar saja. Setelah menyapa dengan kalimat pendek, Dartim melanjutkan langkah menuju pintu dapur rumahnya. Tanpa diminta, Misteri berusaha mengekor di belakangnya.
Tutup bubu itupun dibuka dan ikan-ikan itupun ditumpahkan ke dalam pasu terbuat dari bahan karet. Dari dalam bubu bertumpahan ikan-ikan berbagai ukuran ke dalam pasu. Ternyata, ikan hasil tangkapan tersebut bukan untuk dijual, melainkan hanya untuk dikonsumsi sendiri.
Sepanjang usianya, Dartim menjalankan rutinitas semacam itu tanpa merasa jenuh maupun bosan. Sepertinya, tidak pernah melintas ambisi dalam jiwa laki-laki berkulit cokelat tua itu untuk memiliki perabotan elektronik modern semacam pesawat TV, radio maupun handphone. Seakan-akan dia sedang hidup di abad pertengahan, dimana manusia masih menjalankan kehidupan primitif.
Sebelum menerima teguran, Misteri langsung mengenalkan diri sekaligus memaparkan misi investigasi ke Pulau Rakit itu. Seperti pada awal pertemuan tadi, respon yang ditunjukkan dalam menanggapi perkenalan itu begitu dingin dengan ekspresi wajah masih tetap saja datar.
Tanpa mengganti pakaian yang lembab dan kaki sebatas lutut diselaputi lumpur, Dartim menyiapkan pisau dan perkakas dapur. Beberapa ekor ikan sebesar lengan dikeluarkan dari dalam pasu lalu dilakukan pembersihan isi perut.
Ikan-ikan itupun cukup dipanggang di atas bara batok kelapa sebagai teman nasi. Pagi itu Misteri masih sempat mencicipi gurihnya ikan rawa pulau terpencil. Rasanya, lumayan maknyuus…
Sepanjang siang, Dartim mengisi waktu bincang-bincang seputar pengalaman supranaturalnya selama tinggal di atas pulau. Dari sederet pengalaman gaib itu, satu peristiwa gaib terbesarnya yakni kemunculan koloni biawak yang secara misterius.
Biawak sebanyak puluhan ekor itu seolah muncul dari dasar bumi seperti Ya’juz Wam’ajuz yang luar biasa banyaknya sampai-sampai koloni binatang ini sanggup menghabiskan air di seluruh permukaan bumi pada detik terakhir menyongsong hari kiamat.
“Sekitar dua jam sebelum terbenam matahari, akan muncul puluhan biawak datang dari hutan bakau. Binatang-binatang itu hanya keliaran di sekeliling rumah, lalu hilang lagi ke dalam hutan bakau pada saat suasana remang,” urai Dartim.
Seperti yang dia tuturkan, sekitar pukul 16.00 WIB, secara serempak dari celah rumpun bakau muncul puluhan ekor biawak berbagai ukuran. Dari balik kaca jendela depan, tampak jelas kalau binatang pemakan daging itu bukan monster seperti scuel film Hollywood. Biawak di sekeliling rumah Dartim terlihat jinak dari kejauhan, entah kalau dalam jarak dekat?
Pemandangan memukau kalbu itupun tidak dilewatkan untuk dibidik menggunakan kamera digital berzoom canggih. Sehingga, biarpun dari balik kaca dan dalam jarak jauh, tetapi seakan berada hanya beberapa inci di depan hidung.
Ada yang aneh, diantara puluhan biawak itu ada satu ekor yang posturnya paling besar, jika ditimbang mungkin beratnya setara berat seekor kerbau betina hamil tua. Posturnya panjang, dari kejauhan menyamai panjangnya badan perahu penyeberangan di Eretan Kulon.
Keheranan itupun tidak berlangsung lama sebab, dari samping, Dartim menjelaskan bahwa biawak berpostur paling besar itu merupakan inang atau induk dari puluhan biawak yang ada. Inang biawak itu berjenis kelamin betina, dan puluhan lainnya merupakan anak-anaknya. Lalu, kemanakah pejantannya?
“Waduh, jangan tanya sejauh itu, Pak,” jawab Dartim.
Dua jam terasa sangat singkat untuk menikmati pemandangan luar biasa menakjubkan atas hilir-mudiknya puluhan ekor biawak di sekitar rumah itu. Beberapa menit lagi matahari tenggelam di garis samudera, seperti saat munculnya tadi, mereka serempak memasuki celah rumpun hutan bakau dan lenyap menyisakan kesunyian disusul hangar-bingar jeritan jangkerik dan cacing orong-orong dari kegelapan malam nan misbi.
Bermalam di pulau terpencil, bagi sebagian masyarakat punya kenangan tersendiri. Di sini terasa steril dari seluruh denyut nadi kehidupan berbau metropolis. Tak ada nafsu maksiat dan hura-hura. Yang ada, hanya aroma kesunyian malam dan kemurnian alam.
Momen inilah yang paling tepat untuk menggali kisah nyata dari mulut keriput Dartim tentang berbagai hal yang misterius. Bahkan, bagi sebagian orang dianggap abnormal, tatkala menyaksikan kehidupan laki-laki sepuh berada di pulau terpencil yang terhalang samudera sejauh 14 kilometer dari pusat kota kabupaten.
Tetapi, yang menyita perhatian dan menjadi magnet kuat hingga menarik minat Misteri untuk singgah ke pulau terpencil itu sesungguhnya, bukan lantaran keputusan Dartim untuk mengasingkan diri. Melainkan, ada peristiwa apa di balik munculnya koloni biawak di tempat tinggalnya.
Sebab, khabar angin yang beredar di pusat kota kabupaten tentang keberadaan Dartim bertalian erat dengan jelmaan siluman penguasa Pulau Rakit. Siluman di tempat itu menjelma wujud menjadi binatang reptil ganas pemakan daging itu, semata-mata untuk mengabdi kepada Dartim.
Keberadaan penguasa gaib Pulau Rakit bukan hal baru, bahkan sudah menjadi buah bibir di kalangan nelayan setempat. Bahkan, saking populernya sampai muncul istilah badai Rakit atau biasa disingkat “barak”.
Serangan barak ini bukan main-main, lebih dari puluhan perahu nelayan terseret, terbalik bahkan pecah berkeping-keping terhantam barak. Meski secara fisik berupa badai disertai ombak besar, tetapi kalangan nelayan yakin, sesungguhnya hal itu ulah tangan-tangan gaib penguasa Pulau Rakit.
“Sudah bukan rahasia lagi, masyarakat Indramayu sangat suka menghubungkan berbagai peristiwa dengan hal-hal gaib, meskipun tidak ada hubungan sama sekali,” kata Dartim.
Benang merah antara barak, biawak dengan penguasa gaib Pulau Rakit sangat sulit untuk ditemukan. Apapun yang dikatakan orang, Dartim yakin sekali kalau biawak berjumlah puluhan ekor itu sesungguhnya penghuni habitat hutan bakau yang sudah ada jauh-jauh hari sebelum Dartim dan istrinya bermukim disitu.
Realitas semacam itu sangat sulit dibantah, sekaligus sangat sulit untuk dijelaskan secara argumentasi. Dartim sendiri tidak mau ambil pusing untuk mengadu argumentasi, bagi dia hal itu tidaklah penting, sama tidak pentingnya dengan punya pesawat TV ataupun handphone. Yang penting bagi dia, bagaimana caranya mempertahankan hidup di pulau terpencil dengan memanfaatkan potensi alam yang ada sekaligus melestarikannya.
  Dalam hal melestarikan potensi alam, secara naluri sudah lama dia terapkan. Salah satu buktinya, malam ini dia tidak memasang perangkap ikan di rawa, dengan alasan masih ada stok hasil tangkapan malam sebelumnya. Hal ini sangat luar biasa dan sebuah bukti betapa ambisi tidak pernah tumbuh di dada Dartim.
Dia tidak punya ambisi menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk dijual ke pasar di pusat kota kabupaten. Baginya, yang penting kebutuhannya untuk mempertahankan hidup sudah tercukupi dan tersedia di sekelilingnya. Apapun yang kini dia jalani, menurut keyakinannya sudah digariskan Allah dan sudah tercatat semenjak dia masih di dalam kandungan sang ibu.
Begitu juga kemunculan koloni biawak, diyakininya sudah merupakan ketetapan Allah yang susah dikejar menggunakan nalar rasio manusia, apalagi rasio Dartim yang memang sangat terbatas.
Betapa tidak, binatang-binatang haus daging segar itu muncul di saat Dartim berada pada puncak kebimbangan antara terus bertahan di pulau terpencil itu ataukah pulang ke kampung halamannya.
Bagi Dartim, tidak mudah menetapkan pilihan yang oleh orang lain mungkin bukan sesuatu yang perlu pertimbangan matang. Sebab saat itu, persisnya lima bulan kepulangan istrinya ke sisi Tuhan, Dartim tidak punya teman untuk tetap bertahan di pulau terpencil itu. Tapi di sisi lain, dia enggan pulang kampung sebab di kampungnya sudah tidak punya lahan meskipun hanya sekedar untuk membangun gubuk bilik.
Pada saat batinnya galau dan terus menimbang-nimbang untuk menemukan keputusan, entah dari mana datangnya, sore itu di sekeliling rumahnya dipenuhi biawak dalam jumlah banyak. Mulanya sempat panik, sebab dia tahu persis, binatang yang berkeliaran di sekelilingnya itu jenis pemakan daging dan bukan binatang piaraan.
Ketika koloni biawak itu muncul, Dartim dalam posisi berdiri di bibir pantai dengan tatapan mata kosong berupaya menyeberangi pantai hingga tiba di desa kelahirannya. Upayanya itu tentu saja mustahil bisa berhasil, mengingat titik terjauh pandangan mata manusia tidak memungkinkan melampaui jarak 14 kilometer.
Lamunannya langsung buyar saat pendengarannya menangkap ada suara langkah berat di belakangnya dalam jumlah banyak. Didorong penasaran, Dartim membalikkan badan. Saat itulah jantungnya terasa mau copot. Puluhan ekor biawak sudah melingkarinya seraya menjulur-julurkan lidah bercabangnya.
Dia berharap saat itu sedang bermimpi buruk. Tapi berkali-kali menggigit bibir bawahnya, dia masih merasakan sakit. Tapi bagaimana mungkin kenyataan itu begitu saja terjadi di sekelilingnya dan sebentar lagi puluhan biawak itu bakal berebut mencicipi daging tubuhnya yang sudah apek.
Rasa takut sudah menguasai setiap denyut nadinya. Dia bahkan merasa sudah tidak memiliki tenaga lagi, meskipun hanya sekedar mengangkat telapak kaki dari tanah yang dipijak. Akibatnya, dia tetap membatu ketika binatang-binatang itu bergerak menghampirinya.
Dalam pikirannya sudah membayangkan lambaian tangan sang istri menyambut dirinya bersama-sama di alam barzah. Dia yakin, beberapa detik lagi rohnya bakal bergabung dengan istri tercinta bersamaan dengan terkoyak-koyaknya tubuh Dartim disantap binatang lapar itu.
Prasangka buruk Dartim ternyata tidak terbukti. Kejadian berikutnya sukar dipecahkan ilmuwan manapun di muka bumi ini. Betapa tidak, puluhan biawak itu berebut menjilati kaki dan lutut Dartim tanpa berupaya mencabik dagingnya. Bahkan yang menakjubkan, setiap kali usai menjilati kaki Dartim, biawak bersangkutan langsung bergerak memasuki rapatnya hutan bakau, hingga akhirnya tempat itu kembali lengang.
Hari-hari berikutnya, koloni biawak itupun kembali muncul tiap kali menjelang terbenamnya matahari. Tapi saat itu mereka tidak berupaya menjilati kaki Dartim, melainkan hanya berkeliaran hilir-mudik di sekeliling rumah. Meski masih gamang, Dartim berupaya menghampiri koloni tersebut, dan ternyata biawak-biawak itu sangat jinak bahkan seolah ingin bersahabat dengannya.
Kehadiran puluhan biawak itu berangsur-angsur mengisi rongga kesunyian di dada Dartim. Kini dia merasa punya teman baru, sehingga keputusanpun sudah bulat diambil, dia tetap bertahan tinggal di Pulau Rakit sampai kelak ajal menjemputnya untuk bersatu kembali dengan sang istri di sisi Tuhan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggal Klik aja Boss